Adzan maghrib berkumandang, menandakan waktu berbuka puasa telah tiba. Aku yang sedang bermain diluar, segera masuk ke rumah. Ibuku terlihat masih sibuk menyiapkan makanan untuk buka.
“Ibu, udah waktunya berbuka dan makanan masih juga belum selesai !” teriakku jengkel kepada orang tuaku itu.
“Tadi ibu ada urusan jadi baru sempat nyiapin makanannya,” jawab ibuku tetap lemah lembut walaupun raut wajahnya sedikit lebih sedih.
“Ah, okelah aku minum teh dulu aja,” aku berjalan ke dapur untuk mencari teh, tapi ternyata ibu masih belum membuatkan teh. “Apa ? Tehnya juga masih belum ada ?”
“Iya,nak. Kamu shalat dulu aja.” Akhirnya aku shalat maghrib dengan hati yang sedikit dongkol. Selesai shalat, teh sudah terhidang di meja makan, namun makanan tetap belum juga ada. Hatiku semakin jengkel, tapi aku tetap meminum teh yang disediakan daripada aku tersiksa karena belum berbuka juga.
“Ibuu, teh nya kok nggak manis ?” tanyaku setengah berteriak sambil berjalan ke dapur. Setiba disana aku mendapati ibu tergeletak di lantai. Aku shock. “Astaghfirullah, ibuuu.. Ibuu kenapaa..” suaraku sedikit tertahan. Air mataku mulai bercucuran. Tersadar dari shock, aku cepat-cepat menelepon ambulans.
Kata dokter, ternyata ibu hanya kelelahan sehingga jatuh pingsan. Aku bersyukur mendengarnya. Tidak henti-hentinya ucapan syukur mengalir dari mulutku.
Ketika ibu telah sadar dari pingsannya, aku telah berada di sampingnya. Menemaninya. Bahagia rasanya melihat ibuku satu-satunya itu membuka matanya.
“Ibu, maafin aku ya, bu. Aku nggak pernah bantu ibu jadinya ibu pingsan deh,” kataku penuh sesal. “Maafin aku juga udah sering marah-marah. Aku akan berusaha mengubah sikapku itu, bu.”
“Pasti ibu maafkan, nak,” suara ibu tercekat. Matanya tampak berkaca-kaca.
Aku yang senang mendengarnya, langsung memeluk ibuku yang baik itu. Ia membalas pelukanku. “Ibu baik deh. Aku cinta ibu” bisikku padanya. Mendengar itu, ibu semakin mempererat pelukannya.
“Ibu, udah waktunya berbuka dan makanan masih juga belum selesai !” teriakku jengkel kepada orang tuaku itu.
“Tadi ibu ada urusan jadi baru sempat nyiapin makanannya,” jawab ibuku tetap lemah lembut walaupun raut wajahnya sedikit lebih sedih.
“Ah, okelah aku minum teh dulu aja,” aku berjalan ke dapur untuk mencari teh, tapi ternyata ibu masih belum membuatkan teh. “Apa ? Tehnya juga masih belum ada ?”
“Iya,nak. Kamu shalat dulu aja.” Akhirnya aku shalat maghrib dengan hati yang sedikit dongkol. Selesai shalat, teh sudah terhidang di meja makan, namun makanan tetap belum juga ada. Hatiku semakin jengkel, tapi aku tetap meminum teh yang disediakan daripada aku tersiksa karena belum berbuka juga.
“Ibuu, teh nya kok nggak manis ?” tanyaku setengah berteriak sambil berjalan ke dapur. Setiba disana aku mendapati ibu tergeletak di lantai. Aku shock. “Astaghfirullah, ibuuu.. Ibuu kenapaa..” suaraku sedikit tertahan. Air mataku mulai bercucuran. Tersadar dari shock, aku cepat-cepat menelepon ambulans.
Kata dokter, ternyata ibu hanya kelelahan sehingga jatuh pingsan. Aku bersyukur mendengarnya. Tidak henti-hentinya ucapan syukur mengalir dari mulutku.
Ketika ibu telah sadar dari pingsannya, aku telah berada di sampingnya. Menemaninya. Bahagia rasanya melihat ibuku satu-satunya itu membuka matanya.
“Ibu, maafin aku ya, bu. Aku nggak pernah bantu ibu jadinya ibu pingsan deh,” kataku penuh sesal. “Maafin aku juga udah sering marah-marah. Aku akan berusaha mengubah sikapku itu, bu.”
“Pasti ibu maafkan, nak,” suara ibu tercekat. Matanya tampak berkaca-kaca.
Aku yang senang mendengarnya, langsung memeluk ibuku yang baik itu. Ia membalas pelukanku. “Ibu baik deh. Aku cinta ibu” bisikku padanya. Mendengar itu, ibu semakin mempererat pelukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar