Pagi itu aku terbangun, setelah sebelumnya sahur dan menunaikan salat Subuh. Tidak ada prasangka buruk apa-apa, pukul 6.30 pagi aku berangkat ke kampus. Sebuah handphone kupegang erat sebelum menaiki motor, hendak dimasukkan kedalam kantong samping jaketku.
Duaratus meter sudah ayah memboncengku menuju kampus. Aku tersadar, ponselku lenyap. Aku panik disela bibir yang kering ini. Tidak menunggu apa-apa lagi, aku berkata pada ayah agar membawaku kembali ke jalan sebelumnya. Menelusuri jalan. Ya, itu yang kulakukan. Demi ponselku yang raib dari tanganku sendiri.
Lama aku mencari, tetap tidak membuahkan hasil. Namun, tiba-tiba aku melihat sosok laki-laki tua, berpakaian kusut, dan muka masam terlihat memasukkan barang ke dalam sakunya. Satu hal lagi, ia terlihat panik saat aku turun mendekatinya dan mencoba bertanya.
“Permisi, apa Bapak melihat handphone jatuh disekitar jalan sini?”
Tetapi apa yang Bapak tua itu lakukan? Ia berlari menghindar dariku, si pemilik ponsel . Kata-kata makian aku lontarkan pada si tua renta itu.
Tepat jam 4 sore, tak sengaja aku melihat Bapak tua tadi sedang berada di toko gadget dan handphone. Dari jauh, aku melihat beberapa lembar uang pecahan seratusribu dipegang si tua renta itu. Ada dua lembar mungkin. Aku semakin tidak rela, handphoneku dijual. Ketika hendak mendatangi Bapak tua itu, ia sudah menaiki angkot. Tanpa pikir panjang, aku mengikutinya. Ia turun, aku pun ikut turun. Tempat yang didatanginya ialah tukang ayam bakar.
Sementara itu, aku masih membuntutinya hingga sampailah di sebuah rumah. Tidak. Ini bukan benar-benar rumah. Ini seperti bangunan yang terbuat dari kardus dengan luas tidak lebih dari luas kamar pribadiku. Tiga orang anak kecil menyambut si tua itu dengan senang hati. Ketika Bapak tua itu memperlihatkan apa yang dibawanya, ketiga anak kecil itu pun langsung memeluknya. “Asik, jarang-jarang kita buka puasa dengan ayam. Ini adalah keinginanku di tahun kemarin untuk makan ayam.” Ujar salah satu dari ketiga anak tersebut. Kemudian Bapak tua itu tersenyum sipu melihat anak-anaknya bahagia.
Hatiku kesal, sekaligus iba. Apakah hanya dengan makan ayam, mereka sebegitu bahagianya? Sungguh, aku benar-benar ikhlas membiarkan handphoneku raib di tangan Bapak itu. Aku juga memaafkannya setulus hatiku jika dengan ini bisa membuatnya dan keluarganya lebih baik.
Duaratus meter sudah ayah memboncengku menuju kampus. Aku tersadar, ponselku lenyap. Aku panik disela bibir yang kering ini. Tidak menunggu apa-apa lagi, aku berkata pada ayah agar membawaku kembali ke jalan sebelumnya. Menelusuri jalan. Ya, itu yang kulakukan. Demi ponselku yang raib dari tanganku sendiri.
Lama aku mencari, tetap tidak membuahkan hasil. Namun, tiba-tiba aku melihat sosok laki-laki tua, berpakaian kusut, dan muka masam terlihat memasukkan barang ke dalam sakunya. Satu hal lagi, ia terlihat panik saat aku turun mendekatinya dan mencoba bertanya.
“Permisi, apa Bapak melihat handphone jatuh disekitar jalan sini?”
Tetapi apa yang Bapak tua itu lakukan? Ia berlari menghindar dariku, si pemilik ponsel . Kata-kata makian aku lontarkan pada si tua renta itu.
Tepat jam 4 sore, tak sengaja aku melihat Bapak tua tadi sedang berada di toko gadget dan handphone. Dari jauh, aku melihat beberapa lembar uang pecahan seratusribu dipegang si tua renta itu. Ada dua lembar mungkin. Aku semakin tidak rela, handphoneku dijual. Ketika hendak mendatangi Bapak tua itu, ia sudah menaiki angkot. Tanpa pikir panjang, aku mengikutinya. Ia turun, aku pun ikut turun. Tempat yang didatanginya ialah tukang ayam bakar.
Sementara itu, aku masih membuntutinya hingga sampailah di sebuah rumah. Tidak. Ini bukan benar-benar rumah. Ini seperti bangunan yang terbuat dari kardus dengan luas tidak lebih dari luas kamar pribadiku. Tiga orang anak kecil menyambut si tua itu dengan senang hati. Ketika Bapak tua itu memperlihatkan apa yang dibawanya, ketiga anak kecil itu pun langsung memeluknya. “Asik, jarang-jarang kita buka puasa dengan ayam. Ini adalah keinginanku di tahun kemarin untuk makan ayam.” Ujar salah satu dari ketiga anak tersebut. Kemudian Bapak tua itu tersenyum sipu melihat anak-anaknya bahagia.
Hatiku kesal, sekaligus iba. Apakah hanya dengan makan ayam, mereka sebegitu bahagianya? Sungguh, aku benar-benar ikhlas membiarkan handphoneku raib di tangan Bapak itu. Aku juga memaafkannya setulus hatiku jika dengan ini bisa membuatnya dan keluarganya lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar